Mitologi
"Suku Dayak Meratus" (Dayak Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar
(terutama Banjar Pahuluan) dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua
kakak beradik yaitu Si Ayuh (Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit dan
Bambang Basiwara yang menurunkan suku Banjar. Dalam khasanah cerita
prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus dite mukan legenda yang sifatnya
mengakui atau bahkan melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat
secara geneologis) antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus.
Dalam cerita prosa rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap
bahwa nenek moyang orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah
adik dari nenek moyang orang Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan.
Bambang Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tapi
berotak cerdas.
Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik kuat dan
jago berkelahi. Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau
cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di
kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero
pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul
dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu
berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan
berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik
yang sangat menentukan,Orang Banjar merupakan keturunan Dayak yang telah
memeluk Islam kemudian mengadopsi budaya Jawa, Melayu, Bugis dan Cina.
Menurut Denys Lombard, pada jaman kuna sebagian besar penduduk
Kalimantan Selatan (terutama daerah Batang Banyu) merupakan keturunan
pendatang dari Jawa.Pendapat lain menyatakan, suku Banjar jejak akarnya
dari Sumatera lebih dari 1500 tahun yang lampau.Djoko Pramono menyatakan
bahwa suku Banjar berasal dari suku orang laut yang menetap di
Kalimantan Selatan.
Suku bangsa Banjar diduga berasal mula dari penduduk asal Sumatera atau
daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru dikawasan tanah banjar
(sekarang wilayah provinsi Kalimantan Selatan) sekitar lebih dari seribu
tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali
akhirnya,–setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa
dinamakan sebagai suku Dayak dan dengan imigran-imigran yang berdatangan
belakangan–terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar)
Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).
Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah penduduk daerah lembah-lembah
sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus.Banjar
Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara sedangkan orang Banjar Kuala
mendiami sekitar Banjarmasin dan
Martapura,Bahasa
yang mereka kembangkan dinamakan bahasa banjar yang pada asasnya adalah
bahasa Melayu Sumatera atau sekitarnya yang didalamnya terdapat banyak
kosa kata bahasa dayak dan jawa.Nama Banjar diperoleh karena mereka
dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860 adalah
warga Kesultanan Banjar atau disingkat Banjar sesuai dengan nama
ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah
pedalaman (terakhir di Martapura)nama tersebut nampaknya sudah baku atau
tidak berubah lagi.
Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan
Malaysia, tetapi di Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan ke dalam
suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) yang masih menyebut
diriya suku Banjar. Di Singapura, suku Banjar sudah luluh ke dalam suku
Melayu. Sensus tahun 1930, menunjukkan banyaknya suku Banjar di luar
Kalsel, tetapi sensus tahun 2000 terlihat jumlahnya mengalami penurunan.
Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16
terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin
Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad
ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin
Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi
beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin,
Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer,
selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar
pulau misalnya ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi salah satu dari lima
etnis yang pembentuk Suku Suluk (percampuran orang Buranun/Dayak
Buranun, orang Tagimaha, orang Baklaya, orang Dampuan/Champa dan orang
Banjar). Hubungan antara Banjar dengan Kepulauan Sulu/Banjar Kulan
terjalin ketika
Seorang
Puteri dari Raja Banjar menikah dengan penguasa suku Buranun. Salah satu
rombongan suku Suluk yang menghindari kolonial Spanyol dan mengungsi ke
Kesultanan Banjar adalah moyang dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Banjar Pahuluan
Orang Pahuluan
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar
keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal
diduga terjadi setelah raja Pangeran Samudera yang kemudian dilantik
menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu
bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota,
masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak
Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang
sama.
Dengan
memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu
asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama berasal dari
Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua
kelompok masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga, tetapi
setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi,
meskipun kelompok Suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu
tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak
Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri.
Untuk kepentingan keamanan, atau karena memang ada ikatan kekerabatan,
cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek
pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan
komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari
Seorang
tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan
mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya.
Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai di
kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai
sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan
Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan
di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan
daerah inilah yang dinamakan Pahuluan. Apa yang dikemukakan di atas
menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja
dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya.
Banjar Batang Banyu
Perkampungan orang Batang Banyu.
Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan
dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah
Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara
atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Sebagai warga yang berdiam di
ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok
penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan
tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan),
sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu,
di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan
para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang
hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di antara penduduk Batang
Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.
Banjar Kuala
Perkampungan orang Banjar Kuala
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya
Kesultanan Banjarmasin), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke
pusat kekuasaan yang baru ini dan bersama-sama dengan penduduk sekitar
keraton yang sudah ada sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. Di kawasan
ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju, yang seperti halnya dengan
masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan,
banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat
Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. Mereka yang bertempat
tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan
atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan
masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari)
kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah
Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Berbeda dengan pendapat Alfani Daud, yang menyatakan bahwa inti suku
Banjar adalah para pendatang Melayu dari Sumatera dan sekitarnya, maka
pendapat Idwar Saleh justru lebih menekankan bahwa penduduk asli suku
Dayak adalah inti suku Banjar yang kemudian bercampur membentuk kesatuan
politik sebagaimana Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa
Indonesia-nya.
Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan
Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju,
Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun
1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur
unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat
oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi
kebudayaan yang ada dalam keraton. Di sini kita dapatkan bukan suku
Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah grup atau
kelompok besar yaitu kelompok Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu
dan Banjar Pahuluan.
Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah
Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya
di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki
pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala
berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal
dari kesatuan-etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari
kesatuan etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih
beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan
Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan
sebagainya.
Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar, ia dibantu oleh
orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti Patih Belandean, Patih
Belitung, Patih Kuwi dan sebagainya serta orang Bakumpai yang
dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar
orang Bukit dan Maanyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu agama
Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda
setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi
orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan politik, seperti
bangsa Indonesia.
Sosio-historis
Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial heterogen
yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang selama
ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian
membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial
heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya
alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
yang cukup kompleks.
Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang
silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya
dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya
masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan
tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di
kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan
diri) di samping menjadi orang Banjar.
Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia
merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang
menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di
kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai
kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari
sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik
berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai
syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar sebelum berdirinya
Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan sebagai sebuah ksesatuan
identitas suku atau agama, namun lebih tepat merupakan identitas yang
merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal
Suku Banjar yang semula terbentuk sebagai entitas politik terbagi 3 grup
(kelompok besar) berdasarkan teritorialnya dan unsur pembentuk suku
berdasarkan persfektif kultural dan genetis yang menggambarkan
percampuran penduduk pendatang dengan penduduk asli Dayak:
Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak
Meratus (unsur Dayak Meratus/Bukit sebagai ciri kelompok)
Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang
Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Dayak Maanyan, orang
Dayak Lawangan, orang Dayak Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur
Dayak Maanyan sebagai ciri kelompok)
Grup Banjar Kuala[24] adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu,
orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai), orang Kampung Melayu[26], orang
Kampung Bugis-Makassar, orang Kampung Jawa[28], orang Kampung Arab dan
sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam (unsur Dayak Ngaju sebagai
ciri kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di
dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan
yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu
(Banjar Bakula).
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka
percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya
(Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin
(Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala
juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi
percampuran
suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito
Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang
juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar
Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak
terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
Berdasarkan sensus 1930, suku Banjar di Kalimantan Selatan terdapat di
Kota Banjarmasin (89,19%), Afdeeling Banjarmasin tidak termasuk Kota
Banjarmasin (94,05%), Afdeeling Hulu Sungai (93,75%), kota Kotabaru
(69,45%), Pulau Laut tidak termasuk kota Kotabaru (48,96%), seluruh
Tanah Bumbu (56,74%).